Custom Search

Thursday, October 1, 2009

Ahmad Wahib:
Ketika hidup mengajarkannya bermimpi

Kalau guntur dan hujan bisa bernasyid, mungkin hari ini mereka semua menyenandungkan bait-nya untukku, bukan atas dasar penghiburan, tapi dalam konteks memberi tausiyah keras pada seorang hamba. Kalau pelangi langit muncul hari ini, mungkin warnanya hanya biru, seragam dengan sahabat karibnya, langit, karena merah kuning hijaunya sudah memendam pada keputusasaan berpendar dan kezuhudan pada impian keindahan alam.

Karena mungkin futur, sedang menyapaku sekedar.
Saya jatuh cinta, sungguh saya jatuh cinta pada seseorang yang pernah hidup dan menuliskan pertanyaan-pertanyaan abadinya untuk dirinya sendiri. Pada sebuah kontroversi bathin antara kecintaan dan ketulusan yang mendalam untuk mempercayai Islam menurut Allah. Keirian tentang sebuah ide-ide yang terbebaskan dalam menulis pergulatan spiritualnya yang secara beruntung ia lukiskan dalam kosa kata maksimal dari seorang pemuda berusia 27 tahun kala itu.
Runtunan waktu yang sangat ia ingin temukan adalah proses ketika ia menemukan totalitas pribadi secara bulat, secara tidak sadar atau bahkan mungkin dengan sangat sadar prosentase yang ia cari dalam hal menutupi atau tidaknya pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan pernah tertutupi dalam suatu nilai yang mumpuni. Saya tidak membaca catatan hariannya sebagai pergolakan pemikiran Islam, tetapi justru sebagai sebuah kecintaan pada totalitas keRabbaniyahan. Dan Allah sepertinya sangat sayang dengan seorang Ahmad Wahib karena tidak memberikan kesempatan ia “tercemar” dengan menjadi besar karena orang menyanjung kenyelenehan pemikirannya atau membuat ia terkenal karena kenisbian pertanyaan hakikat keagamaannya. Tapi Allah langsung menunjukkan pada pertemuan keabadiannya dan menjawab semuanya pada sebuah ujung abstrak perhentian hidup dunia. Kematian.

Menjadi Wahib secara pribadi
Pada permohonan yang ia tuliskan, dengan kefahaman bahwa dirinya akan punah dengan perlahan. Seorang Wahib berusaha meneguhkan tapak hidupnya dan keinginannya agar orang lain menilainya sebagai suatu kemutlakan(absolute entity) sehingga Wahib bisa secara tulus memahami manusia sebagai manusia tanpa considerant dari mana ia berasal. Sebagaimana ia ingin dinilai sebagai seorang Ahmad Wahib, tidak lebih.(hal-46, 9 Oktober 1969).

Kebingungan terbesar seorang individu dalam proses pencarian dan kepenuhan pertanyaan dalam mata hati mereka atau kita adalah ketika kita berusaha menghubungkan Allah kepada batasan-batasan manusia dalam hal waktu. Karena Allah melampaui ruang, sehingga kita seperti tidak bisa menisbahkan batasan-batasan ruang kepada-Nya. Ingin berusaha mendeskriptifkan Allah seperti manusia yang bisa berbicara, mendengar atau berjalan-jalan dan mengendarai kendaraan. Seperti juga, kita tidak bisa berkeras bahwa Allah adalah suatu wujud tiga dimensi atau bahwa Dia berpergian dari satu titik ke titik lain di suatu ruang. Dengan cara yang sama kita tidak bisa menuntut bahwa Allah memiliki masa lalu, sekarang dan masa depan, mengasumsikan bahwa eksistensinya sama dengan eksistensi kita: menurut waktu.
Dasar pada pertarungan asumsi dan pemahamannya yang mendekat secara sosiologis dinamis yang menjadikan Wahib begitu bersemangat menanyakan eksistensi keresahan jiwa yang ia miliki.

Kerinduan yang sesungguhnya melekat pada jiwa dan aliran darah penghidupannya. Dengan kekerdilan yang diakui dan mencoba untuk tidak disesali Wahib menukar semua kekerdilan itu dengan pertanyaan dan pemahaman tak sempurna seorang hamba.

Allah memegang jiwa(orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa(orang) yang belum mati di waktu hidupnya; maka Dia menahan jiwa(orang) yang telah Dia tetapkan kematian-nya dan dia melepaskan jiwa lain sampai waktu yang telah ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir(39:42).

Dalam keterjagaan yang panjang ketika ia hidup, Wahib berusaha mensosisalisasikan pemikirannya pada teman-teman diskusinya di Limited Group atau keberadaannya sebagai petinggi HMI. Dan seakan seperti “setengah” disengaja dengan rekayasa kesejarahan hidupnya, kita dapat membaca buah pemikiran dan pengalamannya karena interaksi dengan buku dan manusia dalam sebuah catatan harian yang menggugah dan begitu bebas secara dewasa.

Seperti mengajak pada dinamika yang serba lain, Wahib berusaha mendobrak kebuntuan dan kemalasan berfikir muslim secara gamblang. Memaksa mereka yang terlupa untuk bergerak dan menghirup karunia berfikir dan kesempatan mempertanyakan tentang apa yang mereka yakini: Islam sebagai agama das Sollen, filsafat Islam secara universal dan Abadi; das Sein: berubah-ubah, yang ia bahasakan sebagai filsafat Islam yang belum sempurna.

Dia mengajak, dengan sedikit memaksa, menyeru masyarakat muslim menjadi educated people. Mengingatkan kaum yang dicintainya dengan segala kekurangan mereka untuk terus mendobrak kebodohan mereka, menjadi pelopor atau inovator, menjadi ekspresif, responsif dan formulatif. Mereka harus kreatif bukan reaktif . Individu yang independent aktif, jujur dan berani serta tidak mencari simpati.

Wahib sepertinya ingin menjadi seorang pribadi yang memiliki hak berlebihan demi sebuah kemajuan yang tak kunjung datang. Sadar sepenuhnya atas ketertindasan yang disebabkan kebodohan absolut pada masyarakat muslim secara massive. Ia sadar “penyakit” atas keterbelakangan nyaris sempurna itu harus ia ubah, meskipun masih pada tahap sederhana dengan keterbatasan yang ia miliki atau catatan sederhana dan perannya sebagai “orang lumayan penting” di HMI.

Pribadi yang tidak sabar atas kelambanan proses, tata letak dan cara berfikir yang menjadi monoton karena ketidakmampuan dan daya tangkap analisa secara dangkal diaplikasikan secara sembrono oleh rekan kerja, politikus dan masyarakat Wahib secara kontinyu, menjadikan ia terus berusaha berfikir keras tentang bagaimana menjadi “problem solver” atas permasalahan dan kemandegan ide-ide brilliant tentang sebuah perubahan.

Wahib mempermasalahkan perhatian yang berlebihan yang ditunjukkan sebagian orang-orang Islam terhadap masalah-masalah hukum agama.(fiqh) dan hampir melupakan masalah-masalah ketuhanan.
“Faham kita tentang masalah-masalah ketuhanan yang sangat dangkal, mati tanpa isi, kehilangan intensitas, sedang diatasnya berpijaklah suatu bagunan rumus-rumus fiqh yang kaku, berbelit-belit, mekanis dan tidak absolute. Tidak heran karenanya Islam menjadi “agama patokan”, pagar-pagar batas yang merumuskan ke mana manusia-manusia di seluruh abad harus berjalan dengan mengabaikan sama sekali keunikan dan potensi kreatif yang ada pada setiap pribadi.(hal 60).

Dari paragraf diatas tergambar sebuah protes keras atas kekurangan yang secara nyata ditunjukkan oleh masyarakat muslim pada zamannya dan dengan kemungkinan yang besar masih berlanjut hingga saat ini.

Dengan “sedikit sombong” dan mencoba menjadi realist Wahib mengemukakan : “ Saya fikir, hukum Islam itu tidak ada. Yang ada ialah sejarah Muhammad; dan dari sanalah tiap-tiap pribadi kita mengambil pelajaran sendiri-sendiri tentang hubungan Tuhan dan sesama manusia.(hal 60).

Sebuah kesimpulan reaktif dan penyimpulan atas sebuah asumsi tegas tentang kesamaan Muhammad sebagai seorang manusia yang lahir dan hidup dengan latar belakang sejarah dan budaya yang melingkupinya.

Ia memahami tentang pelajaran hidup yang tak pernah selesai melingkari pribadi yang hidup, seperti setengah sadar ia berteriak-teriak protes keras atas kekurangan manusia yang dengan begitu bodoh menunjukkan dan merusak semua sistem yang dibentuk.

Wahib haus dan “membutuhkan sangat” atas keidealan formasi sosial kemasyarakatan dan disaat yang sama berusaha memahami keterbatasan Wahib sebagai seorang manusia dan hamba. Sehingga dia berfikir serta berusaha menerjemahkan kondisi di sekelilingnya dan lagi-lagi dengan setengah sembrono menenggelamkan dirinya pada pencapaian cita-cita pada sebuah pola fikir, kadang dirinya sebagian lupa atas proses keseimbangan akan kerja dan fikir, fikir dan berasumsi, fikir dan merealisasi. Fikir dan melakukan, fikir dan bermimpi, fikir dan berhenti bermimpi, lantas melakukan dengan segala kemungkinan energi yang bisa dilepaskan oleh seorang Wahib.

Kembali dengan indah dan cerdas ia menterjemahkan kehidupannya pada formula-formula dan strategi yang secara relatif sederhana ia kembangkan lewat tulisan dan pendapat serta keterkekangan bathinnya coba ia tutupi dengan kediaman dalam ketidakpuasan dan sesekali berbicara meskipun tak terpuaskan.

Itulah Wahib, Ahmad Wahib. Menurut saya, tidak menurut anda, tidak menurut masyarakatnya, bahkan mungkin tidak dan jelas-jelas tidak menurut Ahmad Wahib sendiri.

Berfikir merubah dan “keemohan” stagnansi
Ia memulai semuanya dengan penekanan penghindaran terhadap apologia. Apologia yang menyebabkan seseorang menjadi lembek dan miskin keinginan untuk merubah diri dan masyarakatnya. Penekanan atas penghindaran apologia juga dimaksudkan untuk sedikit menghidupkan syaraf-syaraf otak dalam rangka melengkapi dan mengembangkan pemikiran secara bebas terbatas. Agar latihan untuk menjadi manusia non apologis dapat secara intens terlaksana.

Ia mengangkat kaum intelektual karena kelebihan mereka untuk bisa berfantasi dan berilmu karena kemampuan mereka menganalisa bersamaan dengan itu menyindir sinis kepada mereka” kaum intelektual” karena menganggap diri mereka telah memiliki “eshtablished thingking” sehingga merendahkan (sangat mungkin secara tidak sengaja) masyarakat “kebanyakan” dengan cara berfikir tanpa merealisasikan.

Di sisi lain Wahib seperti ingin membangunkan fikiran-fikiran sederhana “masyarakat kebanyakan” tadi dalam rangka membangun struktur masyarakat yang “much better” dari yang terjadi pada masanya. Disamping keirian pada kesederhanaan berfikir yang sebagian menciptakan totalitas yang sederhana dalam menterjemahkan isi “keagamaan” mereka yang menimbulkan pola sederhana tanpa perlu menjadi “gila” karena pertanyaan “mengapa dan bagaimana” yang terus muncul.

Keberanian mengungkapkan yang tidak sempurna yang ia miliki sangat mungkin karena kesabaran yang kurang ia lengkapi.

“Tiada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran sebab kesabaran adalah yang menentukan lama tidaknya sebuah keberanian bertahan dalam diri seorang pahlawan”.( Anis Matta, Lc).
Seperti seumpama tukang batu yang berfikir untuk membangun sebuah istana lalu lupa untuk menjadi “kuli” dalam membangunnya dengan cara menggotong pasir, memilah batu bata teguh dalam sengatan matahari untuk membangun pondasi dan temboknya sampai ia duduk diatapnya dan mencoba menyelesaikannya. Meskipun seringkali sang tukang batu harus cukup puas dengan hidup yang hanya sampai ketika ia membangun pondasi dan dengan usaha untuk membesarkan rongga-rongga kelapangan dada membiarkan orang lain meneruskan usaha dan rencananya.Karena ia harus beristirahat sejenak atau bahkan selamanya. Seperti biasa, lagi-lagi bagian dari sebuah skenario Allah bukan?

Ia lalu memulainya dengan mencoba mengagendakan strategi agar ia tidak menemukan sebuah stagnansi. Ia selalu menyemangati dirinya dengan cara terbatas dan kecenderungan tertatih:
Aku tidak bisa mengerti keadaan di Indonesia ini. Ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa ia sudah 20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya tetap sama. Bagaimana ini? Apakah mereka tidak memiliki kegairahan untuk meningkatkan hidupnya sedikit demi sedikit? Mengapa ada orang Indonesia yang sampai puluhan tahun menjadi pekerja kasar yang itu-itu juga. Pengetahuan mereka juga tidak meningkat. Apa bedanya mencukur 3 tahun dengan mencukur 20 tahun. Apa bedanya menggenjot becak setahun dengan sepuluh tahun? Ide untuk maju walaupun dengan pelan-pelan masih sangat kurang di Indonesia ini. ….Bagiku dalam bekerja itu harus harus terjamin dan diperjuangkan dua hal: 1. Penghasilan harus selalu meningkat; 2. Pengalaman dan pengetahuan harus selalu bertambah. Saya kira semangat yang tepat untuk hal ini adalah : membuat hari ini lebih baik dari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Motto seperti ini harus terus dihidupkan dalam jiwa kita. ( hal 214).

Itulah Wahib, dengan keengganannya untuk tetap menjadi “biasa”, dengan ke”emoh”annya melihat orang lain bergulat dengan apatismenya. Dan semangatnya untuk tidak melarat dalam hal idealisme.

Itulah Wahib, Ahmad Wahib. Menurut saya, tidak menurut anda, tidak menurut masyarakatnya, bahkan mungkin tidak dan jelas-jelas tidak menurut Ahmad Wahib sendiri.

Menjadi Politisi Kerdil
Dalam perjalanan dan pergulatan keorganisasian di HMI Wahib merenungkan banyak hal. Eksistensinya, cita-citanya, harga dirinya, kontemplasinya tentang pergulatan sejarah yang terjadi di Indonesia pasca Gestapu, dilema pribadinya, sampai pergulatan bathinnya antara menjadi seorang pemikir dan politisi.

Kita beku! Dan kita harus melepaskan diri dari kebekuan ini. Kita harus mengadakan eksperimen-eksperimen memperkaya dengan ide-ide segar?Tanpa ide-ide baru, Himpunan Mahasiswa Islam ini akan menjadi himpuanan juru tulis-juru tulis yang mengulang-ulang apa yang telah biasa diperintahkan tuannya. Repetition, nothing but repetition! (hal 273)

Ia berbicara tentang Islam sebagai agamanya, politik Indonesia dan perkembangannya sebagai lingkungannya, dan Himpunan Mahasiswa Indonesia sebagai tempatnya berkiprah. Semua protes keras itu membutuhkan jawaban lewat dialog-dialog di mana dia sangat membutuhkannya. Dimana ada pintu lain untuk keluar dari kebekuan yang melilit lingkungannya yang tidak dinamis dalam mengolah pergolakan kesejarahan yang baru.

Ketika tidak semua orang di lingkungannya tidak bisa melepaskan dahaga yang mencekatnya, dia berfikir. Hingga terkadang lupa beristirahat untuk menyalurkan kontemplasi pemikirannya lewat dunia luar yang lebih besar dan jauh lebih indah, meski semu.

Mengingatkan kita ketika para ahli hukum muslim telah mengelaborasi teori tentang politik keagamaan, mereka menyampaikan dua fakta besar: tentang berbagai penaklukan besar kaum muslim di masa lalu dan ancaman permusuhan terus menerus sepanjang tapal batas imperium Islam.

Itulah sebuah gambaran sekilas tentang kebuntuan yang dipertanyakan Wahib, tentang pergulatan yang sebenarnya bisa dicegah sejak garis “start”.

Dalam bukunya The Outline of History, H.G. Wells mengemukakan sebuah alasan yang hampir sama:
Dan sekiranya pembaca mempunyai angan-angan tentang satu peradaban yang sangat baik, entah Romawi atau Persia, Yunani atau Mesir, yang ditenggelamkan oleh air bah ini, lebih baik ia segera membuang ide itu. Islam menang karena Islam adalah tatanan sosial dan politik terbaik yang diberikan oleh zaman. Islam menang karena, dimanapun ia berada, ia membela orang-orang yang apatis secara politis, dirampok, ditindas, diancam, tidak mendapatkan pendidikan, dan tidak terorganisasi, serta menentang pemerintah-pemerintah yang mementingkan diri sendiri dan tidak sehat, yang tidak memiliki hubungan yang erat sama sekali dengan rakyatnya. Islam adalah sebuah gagasan politik yang paling luas, paling segar, dan paling bersih yang hingga kini telah menunjukkan aktivitas aktualnya di dunia, dan Islam menawarkan hal-hal yang lebih baik daripada peradaban mana pun lainnya kepada ummat manusia

Wahib tahu itu, sebagian mungkin karena dogma tapi bagian lain yang lebih besar semata-mata karena pengaruh kepasrahan dan penyederhanaan seorang hamba kepada Allah sebagai Tuhan.
Inisiatif, hal itulah yang menjadi “loaded” terbesar dalam jiwanya. Inisiatif melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Ketika dalam beramal, seorang muslim dituntut untuk melakukan inisiatif yang tinggi tanpa perintah siapapun. Itulah Ibda’.

Ia sering membahasakan masyarakat muslim yang tidak memiliki inisiatif, baik dalam menjalankan aktivitas agamanya maupun tugas dakwahnya dalam rangka merubah, yang dampaknya terlihat sangat serius. Masyarakat muslim seperti itu akan terus menunggu-nunggu, tidak bergerak kecuali setelah mendapat arahan, anjuran atau perintah pimpinannya. Absurd dan bodoh.
Yang kupercaya penuh dari pelajaran-pelajaran keislaman selama ini hanyalah Allah dan Muhammad. Selain itu bagiku tidak mutlak, kondisional. Kupikir, “agama” tidak boleh dimutlakkan (sebagai bentuk dan struktur tertentu) kalau tidak ingin hancur. Yang mutla hanyalah Tuhan, sedang makhlukNya termasuk “agama adalah mati. “agama” disini dipakai dalam pengertian peraturan-peraturan yang dibawa oleh seorang nabi Allah.

Tapi dalam kehidupan konkrit, agama itu perlu diberi bentuk. Namun bentuk itu sendiri bukan agama. Demikianlah Islam. Manusia muslim perlu memberikan bentuk pada Islamnya yang tidak berbentuk itu. Dan bentuk tersebut adalah semata-mata urusan pribadi tiap-tiap manusia muslim menurut keunikan –keunikan dalam dirinya, penghayatannya terhadap kehidupan dan penafsirannya terhadap sesuatu bentuk sempurna yang telah pernah ada yaitu “ sejarah Muhammad”.(hal 128)

Lagi-lagi bentuk dari keluasan kreatifitas pemikiran seorang Wahib, yang mungkin bagi sebagian orang masuk dalam kategori” mengerikan”, atau terbawa karena pengaruh pergaulan.
Itulah Wahib, Ahmad Wahib. Menurut mereka, tidak menurut saya, tidak menurut anda, tidak menurut masyarakatnya, bahkan mungkin tidak dan jelas-jelas tidak menurut Ahmad Wahib sendiri.

Tentang Perempuan
Beberapa sudut istimewa dalam catatan hariannya menjelaskan secara terpotong beberapa penggal kisah cinta dan romantisme seorang Wahib. Hubungan-hubungan serta perasaan istimewa kepada seorang (atau mungkin beberapa) perempuan. Ketertarikan secara fisik dalam pesona seorang balerina dalam “The First Chamber of Dance Quartet”, Janice Groman, yang mengingatkan dirinya kepada wanita yang pernah dicintainya. Dan mimpi yang diartikan dengan kelembutan yang emosional ketika ia bertemu dengan keteduhan Bunda Maria. Juga tak lupa keterpesonaan dalam dramatisasi cinta Romeo dan Juliet. Ah, cinta… ternyata masih sempat juga berkunjung ke relung pemuda seabstrak beliau.

Antara ilmu dan teman putri
Ilmuku terasa bertambah dengan cepat akhir-akhir ini sejak membebaskan diri dari “hubungan-hubungan” nuisance dengan beberapa teman putri. Apakah kelembutan wajah itu mengganggu aktivitas mengejar ilmu?(hal-320).

Tentang dia yang kucintai
Hatiku selalu diliputi keragu-raguan. Ragu-ragu antara dorongan ingin memadu hidup bersamanya dengan perasaan-perasaan kuatir akan kemampuan diri bisa memberikan kebahagiaan kepadanya. Aku ragu-ragu setelah memawas diriku sendiri. (hal-318)

Entah apalagi yang akan dituliskan pada catatan hariannya apabila ia sempat menjumpai bidadari langit jelita di akhirat sana. Atau buku-buku berjenis apa lagi yang direncanakan olehnya untuk menjadi bahan bacaan wajib anaknya ketika mereka di Sekolah Dasar sehingga memungkinkan kontemplasi yang lebih menyeluruh ketika buah hatinya duduk di SMA. (mungkin setelah ia menyelesaikan seluruh jadwal dan rencananya lagi yang berantakan karena agenda VCD porno, narkoba dan Inul).

Sampai paragraf ini Wahib masih membuat saya terlena karena asyik menerka-nerka seperti apa pendapatnya atau bagaimana dia akan menuliskannya dalam catatan hariannya bila dia sempat hidup pada era 90-an. Era di mana perubahan-perubahan terjadi. Era di mana jilbab menjadi trend di kalangan muslimah, di satu sisi karena pencerdasan atas kefahaman Islam yang meningkat di sisi lain karena faktor-faktor pendorong perubahan sosial ideologis kemasyarakatan yang bergerak secara bersamaan, yang tidak ia dapati di era awal 70-an.

Pada tahap itu, mungkin ia akan lebih menjadi pribadi yang tetap melihat substansi yang dibungkus pada tataran syar’i. Karena Alqur’an, demi Alqur’an, sebagai satu-satunya bahasa dan puisi Tuhan.

Wahib, sebagai seorang laki-laki, dapat menjadi seorang muslim tanpa harus secara substansial merubah penampilan lahiriahnya dan, karenanya, dapat menyembunyikan identitas keagamaannya bila ia menghendaki. Ia pun menekankan masalah rohani dan hati daripada komitmen fisik seorang muslimah, layaknya liberalis tahun 70-an lainnya.

Beberapa pandangan “modern’ lainnya yang berkaitan berusaha menilai secara substantif tentang lahiriah seorang muslimah. Karena ketika mereka melihat para perempuan muslimah mengadopsi gaya busana muslim yang paling konservatif, telah menimbulkan kesulitan luar biasa dan menjadikan mereka sasaran empuk ancaman dan pelecehan.

Ketika seorang laki-laki ber-Islam, ia mungkin dipandang eksentrik, sedikit aneh, pemikir bebas, dan beberapa kata-kata berbau kekaguman lain. Ketika seorang muslimah ber”Islam” lengkap dengan penampilannya, ia seakan mendobrak kebudayaan dan peradabannya(dalam beberapa region dan bentuk tertentu), sehingga untuk beberapa bahkan banyak pemikir, konsep Alqur’an ini dan beberapa point lain cukup menjadi point objek yang masuk kategori “askable” dan “debatable”. Mungkin satu alasannya karena “kecintaan’ terhadap keberadaan perempuan itu sendiri dan apriori dengan tujuan melindungi. Lagi-lagi saya asyik berandai-andai tentang beliau, tentang pandangan beliau, dengan point tanpa arahan yang begitu tegas dan jelas.

Intinya, Ia sempat menuliskan itu, bait pendek tentang perempuan. Meskipun hingga akhir hidupnya tak sempat ia menggenapkan separuh diennya.

Dia bukan dewa, Cuma manusia yang berfikir dan bertanya.
Abstrak dan tidak teratur, seperti wajarnya sebuah buku harian yang berisi curahan hati dan pertanyaan-pertanyaan kehidupan dengan penuhnya asumsi dan kebebasan penilaian.
Membaca catatan harian ini, sekilas membuat saya terkesima atas persamaan-persamaan dirinya dengan saya bahkan atas perbedaan dalam proses yang begitu rumit yang terjadi antara diri saya pribadi dengan diri Ahmad Wahib. Karena itulah mungkin saya jatuh cinta, pada pertanyaan sederhananya pada kerumitan berfikirnya pada keintelektualannya dalam merangkai dan mempertanyakan “kebusukan” yang menggelora dan hidup di agama dan masyarakatnya.

Ia menjadi Wahib yang mungkin berbeda dengan Maryam Jameelah, Muhamad Asa, Malcolm X, Murad Hoffman, Jeffrey Lang, Nuh ha Mim Keller, Craig Owensby, atau contoh lain para muallaf yang sebelumnya merupakan ateis atau agnostik. Mereka mencari kebenaran yang mereka temukan lewat kefahaman dan pemakluman terhap ummat Islam yang tidak sempurna. Wahib lain, ia telah menemukan kebenaran itu, ia hanya mencoba merajutnya menjadi lebih berfungsi dan mendekati sempurna, terkadang lewat pandangan antropomorpis tentang Tuhan, simbolisme dalam ekspresi kemanusiaan dan penjelasan komparatif antara manusia dan keagamaannya, semua menuju pada satu titik dalam rangka pencarian.

Bila sedikit mencermati persoalan yang dikajinya berputar pada tiga hal sempit dalam rangka menyikapi tuntutan utama hidupnya yakni makanan(ghidza’ jasa-di), informasi(ghidza’aqli’) dan dzikir(ghidza’ruhi/qalbi).
Sejak kecil pergulatannya adalah pesantren dengan didikan seorang ayah yang taat dan kritis. Dengan HMI-nya, Tempo-nya, pola pergaulannya di Asrama mahasiswa Katolik dan perenungan-perenungannya tentang hak setiap manusia sebagai makhluk untuk menjadi bahagia. Serta mengingatkan manusia lain untuk tidak menjadi hakim terakhir atas keputusan final penentuan Surga atau Neraka.

Setiap orang berhak dan boleh saja menempatkan pada sikap pro dan kontranya. Toh sepertinya Wahib tidak akan terlalu memusingkan itu bila ia masih hidup, jika saja saya boleh berandai-andai.

Menyimpulkan atau tidak menyimpulkan dirinya sebagai pembaharu atau mujaddid karena kehausan akan perubahan yang ia fikirkan. Mungkin ia juga kembali “ngambek” kalau saja tahu HMI dan Freedom Institute dengan berani memperebutkan material sebanyak 30 juta agar mereka yang mengaku intelektual muda berusaha untuk membaca pemikirannya dan berlomba untuk menjadi penyair terbaik dalam rangka memuaskan para juri dan menjadi pemenang final, dikarenakan pencapaian simbol kepuasan berfikir saja, tidak merubah dan berbuat.

Itulah Ahmad Wahib dengan pemikirannya, Acak. Dengan nilai-nilai yang ia perjuangkan, Abstrak. Pada pola hidupnya yang cenderung sekuensial. Dan keterbatasan realitas perubahan masyarakat yang ia coba ubah menjadi konkrit dan nyata.

Saya berusaha mencermati setiap detail tentang catatan-catatan Ahmad Wahib yang bukan tidak mungkin telah terinterupsi dengan halus oleh “sang editor”. Berusaha mencermati dengan setengah tidak adil dalam rangka memberikan penilaian seseorang yang tidak saya kenal bahkan saya lihat wajahnya secara jelas. Dengan naif dan sok tahu saya berusaha menerjemahkan kehidupannya dengan cara saya. Berusaha menyelami protesnya pada Rabb-Nya, bahasa-bahasanya dalam mengekspresikan hidupnya, kerinduan-kerinduan untuk mencintai dan dicintai serta perasaan-perasaan terdesak dan “dongkol” atas realita yang mengelilinginya. Secara sederhana dan cenderung tidak sempurna.

Terlepas dan bebas dari itu semua, toh, saya tetap saja jatuh cinta padanya. Karena Wahib telah mengingatkan saya atas target menjadi “dewasa” yang telah terlewati. Karena Wahib telah menambah Pe er- Pe er besar saya tentang ummat. Karena Ia telah mengajarkan disiplin dalam menuangkan impian-impian saya. Karena saya iri padanya, karena Ia mati muda.

Itulah Wahib, Ahmad Wahib. Menurut saya, tidak menurut anda, tidak menurut masyarakatnya, bahkan mungkin tidak dan jelas-jelas tidak menurut Ahmad Wahib sendiri.

Sumber : http://anggrekhutan.multiply.com

Comments :

0 comments to “ ”


Post a Comment