Custom Search

Wednesday, September 30, 2009

Kerajaan Skala Brak
Language : Inggris


1. Sejarah

Keberadaan Kerajaan Skala Brak dapat ditelusuri melalui peninggalan-peninggalan sejarah, yaitu patung, kenali, batu brak, liwa dan sukau, dan pahatan corak Megalitik di sekitar Pekon Purawiwitan Sumberjaya. Kerajaan ini terletak di lereng Gunung Pesagi, tepatnya di daratan Belalau, sebelah selatan Danau Ranau (yang kini dikenal Kabupaten Lampung Barat), di Sumatera Selatan, Indonesia. Gunung ini menjadi tempat pertapaan yang ramai dikunjungi masyarakat hingga kini. Kemasyhuran kerajaan ini juga ditandai adanya tambo-tambo yang terbuat dari kulit kayu dan kulit kerbau.

Benda-benda kuno peninggalan sejarah yang lainnya memperkuat bukti keberadaan kerajaan ini. Pertama, adanya batu tulis besar di Bunuk Tuar atau dikenal dengan istilah haur kuning (liwa). Tinggi batu ini adalah 1,33 meter, lebarnya 20 cm, dan lebar bawahnya 50 cm. Batu ini bertuliskan huruf Hindu (Pallawa). Kedua, batu kepapang atau batu bercangkah di Tanjung Menang Kenali. Diperkirakan batu ini sebagai tempat penghukuman bagi orang yang melanggar hukum. Ketiga, situs batu bekhak di Pekon Purawiwitan Sumberjaya. Sebelum mengenal perkakas besi, orang zaman dahulu lebih mengenal batu ini.

Bukti sejarah lain berupa prasasti. Prof. Dr. Louis-Charles Damais, misalnya, pernah mengungkap fakta prasasti Hujung Langit dalam bukunya berjudul Epigrafi dan Sejarah Nusantara (1995). Prasasti yang bertarikh 9 Margasira 919 Saka (12 November 997 Masehi) ini ditemukan di Desa Bawang, antara Liwa dan Gunung Pesagi. Sebagaimana tercantum dalam baris-7, yang mengeluarkan prasasti ini adalah Sri Haridewa, nama raja di Lampung. Diperkirakan raja ini ada hubungannya dengan Kerajaan Skala Brak.

Berdasarkan bukti-bukti peninggalan sejarah tersebut, banyak pakar sejarah yang tidak menampik argumentasi bahwa Kerajaan Skala Brak itu benar-benar ada. Di antara pakar-pakar sejarah yang dimaksud adalah Dr. Fn. Fune, Groenevelt, Rampanggilay,Van Vollenhoven, L.C Westenenk, dan Hellfich. Artinya bahwa Skala Brak merupakan daerah asal usul (cikal bakal) suku asli Lampung. Warga Skala Brak melakukan perpindahan secara bertahap dari waktu ke waktu ke berbagai daerah di Lampung dan sekitarnya.

Proses perpindahan tersebut didasarkan pada sejumlah peristiwa penting. Pertama, Suku Tumi pernah terusir akibat jatuhnya Skala Brak ke tangan Paksi Pak Skala Brak ketika ajaran Islam mulai masuk ke daerah ini. Kedua, proses perpindahan terjadi akibat adanya perselisihan di antara para keluarga. Kelompok yang tidak menerima keadaan lebih memutuskan untuk berpindah ke daerah lain. Ketiga, adanya gempa bumi yang menyebabkan sebagian warga berpindah ke tempat lain. Keempat, adanya peraturan adat yang menetapkan bahwa hak adat jatuh atau diwarisi oleh Putera Tertua. Anak-anak muda umumnya tidak memiliki hak. Mereka akhirnya memutuskan pindah ke daerah lain dengan harapan akan mendapatkan kedudukan dan tingkatan sosial yang lebih baik.

Proses persebaran suku ini terjadi melalui aliran Sungai Komering, Semangkai, Sekampung, Seputih, Tulang Bawang, Way Umpu, Way Rarem, dan Way Besai. Seluruh aliran sungai tersebut merupakan lingkup wilayah Lampung saat ini, kecuali Sungai Komering yang masuk dalam wilayah Palembang.

Menurut catatan Kitab Tiongkok kuno, yang disalin oleh Groenevelt ke dalam bahasa Inggris, bahwa antara tahun 454 dan 464 terdapat suatu kisah tentang Kerajaan Kendali yang terletak antara Pulau Jawa dan Kamboja. Seorang Baginda dari Kendali atau disebut dengan istilah Sapanalanlinda (belum ditemukan data siapa nama sesungguhnya) pernah mengirimkan seorang utusan bernama Taruda ke Tiongkok dengan hadiah berupa emas dan perak. L.C. Westenenk mengatakan bahwa nama Kendali dalam kerajaan tersebut dapat dihubungkan dengan Kenali, ibukota Kecamatan Belalau.

Kerajaan Skala Brak runtuh seiring masuknya ajaran Islam. Menurut riwayat yang ada dalam tambo, terdapat empat orang Putera Raja Pagaruyung tiba di Skala Brak, yaitu Umpu Belunguh, Umpu Pernong, Umpu Berjalan Di Way, dan Umpu Nyerupa. Kata Umpu berasal dari kata Ampu, sebagaimana tertera dalam batu tulis di Pagaruyung yang bertarikh 1358 A.D. Ampu Tuan adalah sebutan untuk anak raja-raja di Pagaruyung Minangkabau. Setibanya di Skala Brak, keempat umpu tersebut kemudian bertemu dengan Mulu yang diantar oleh seseorang dengan sebutan Si Bulan. Di Skala Brak, empat umpu itu mendirikan perkumpulan bernama Paksi Pak yang berarti Empat Serangkai atau Empat Sepakat.

Melalui empat tokoh ini, dakwah Islam mulai berkembang. Banyak penduduk, termasuk Suku Tumi yang memeluk Islam. Namun, penduduk yang enggan memeluk Islam memutuskan untuk melarikan diri ke Pesisir Krui dan terus menyeberang ke pulau Jawa. Sebagian lagi ada yang pergi ke daerah Palembang.

Empat umpu tersebut berperan besar terhadap berdirinya Kerajaan Skala Brak. Kerajaan ini kemudian dibagi ke dalam empat wilayah, dengan masing-masing empat tokoh tersebut sebagai pimpinannya. Pertama, Umpu Belunguh memerintah Belalau dengan ibukotanya Tanjung Menang Kenali. Wilayah ini dikenal sebagai Paksi Buay Belunguh. Kedua, Umpu Pernong memerintah Batu Brak dengan ibukota Hanibung. Wilayah ini dikenal sebagai Paksi Buay Pernong. Ketiga, Umpu Berjalan Di Way memerintah di Kembahang dan Balik Bukit dengan ibukotanya Ibu Negeri Puncak. Wilayah ini dikenal sebagai Paksi Buay Bejalan Di Way. Keempat, Umpu Nyerupa memerintah di Sukau dengan ibukotanya Tapak Siring. Wilayah ini dikenal sebagai Paksi Buay Nyerupa. Si Bulan sendiri juga mendapatkan wilayah bernama Cenggiring. Namun, karena daerah ini dekat dengan Paksi Buay Pernong, maka daerah ini digabungkan saja dengan paksi itu.

Suku Tumi yang melarikan diri ke Pesisir Krui kemudian menempati marga-marga Punggawa Lima, yaitu Marga Pidada, Marga Bandar, Marga Laai, dan Marga Way Sindi. Namun, sayangnya lima wilayah dalam marga Punggawa Lima ini dapat ditaklukkan oleh Lemia Ralang Pantang yang datang dari daerah Danau Ranau dengan dibantu oleh lima orang punggawa dari Paksi Pak Skala Brak. Nama marga Punggawa Lima berasal dari peran kelima punggawa yang menempati daerah yang telah ditaklukkan tersebut.

2. Wilayah Kekuasaan
Kekuasaan Kerajaan Skala Brak meliputi wilayah yang kini masuk dalam wilayah Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Indonesia.

3. Struktur Pemerintahan
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa struktur pemerintahan Kerajaan Skala Brak dibagi berdasarkan empat paksi (Paksi Pak Skala Brak), yaitu Paksi Buay Belunguh, Paksi Buay Pernong, Paksi Buay Bejalan Di Way, dan Paksi Buay Nyerupa.

4. Kehidupan Sosial-Budaya
Pada awalnya, dataran Skala Brak dihuni oleh Suku Tumi yang menganut kepercayaan animisme. Suku ini mengagungkan sebuah pohon yang mereka percayai sebagai tempat persemayaman para dewa, yaitu pohon Belasa Kepampang atau nangka yang bercabang. Pohon ini memiliki dua cabang, salah satu cabangnya adalah nangka dan satunya lagi adalah sebukau, yaitu sejenis kayu yang bergetah. Keistimewaan pohon ini terletak pada khasiatnya sebagai obat penawar racun. Misalnya, jika seseorang terkena getah dahannya maka dapat menderita penyakit kulit. Namun, jika diobati dengan batangnya maka penyakit itu akan hilang karena merupakan obat penawarnya.

Setelah Islam masuk di wilayah Kerajaan Skala Brak, banyak terjadi perubahan terhadap sistem religi dan kepercayaan masyarakat setempat. Sebagai contoh, pohon Melasa Kepapang yang merupakan tempat pemujaan Suku Tumi di Kerajaan Skala Brak ditebang oleh Paksi Pak. Pohon itu kemudian diganti menjadi pepadun, yaitu tempat singgasana yang digunakan pada saat penobatan Saibatin, raja-raja dari Paksi Pak Skala Brak dan keturunan-keturunannya. Pepadun ini merupakan pepadun yang pertama kali ada di Lampung. Sekitar awal abad ke-9, para Saibatin membuat aksara dan angka tersendiri sebagai Aksara Lampung yang dikenal dengan Had Lampung. Had Lampung sebenarnya dipengaruhi oleh dua unsur, yaitu aksara Pallawa dan huruf Arab. Had Lampung memiliki bentuk kekerabatan dengan aksara Rencong Aceh, aksara Rejang Bengkulu, dan aksara Bugis.

Ada dua pemahaman tentang makna pepaduan tersebut. Pertama, untuk memadukan pengesahan atau pentahbisan bahwa yang duduk di atas pepaduan adalah raja. Kedua, sebagai tempat bagi orang yang mengadukan hal ihwal seputar kerajaan atau orang yang berhak mengambil keputusan. Fungsi pepaduan hanya untuk raja-raja yang memerintah di Skala Brak. Atas kesepakatan empat paksi, maka pepaduan tersebut dipercayakan kepada seseorang yang bernama Benyata untuk menyimpannya. Ia juga ditunjuk sebagai bendahara di Pekon Luas, Paksi Buay Belunguh. Adanya posisi bendahara ini adalah untuk menghindari terjadinya perebutan atau perselisihan antara keturunan-keturunan Paksi Pak Skala Brak di kemudian hari. Salah seorang dari empat umpu dan keturunannya dapat meminjam pepaduan untuk menobatkan salah seorang keturunannya sebagai raja, namun setelah selesai digunakan harus dikembalikan kepada Benyata.

Pada tahun 1939, pernah terjadi perselisihan di antara keturunan Benyata dalam hal perebutan keturunan yang tertua dan siapa yang berhak menyimpan pepaduan sepeninggalan Benyata. Setelah diadakan rapat adat dengan persetujuan Paksi Pak Sekala Brak dan Keresidenan, diputuskan bahwa yang berhak menyimpan pepaduan adalah mereka yang memiliki garis keturunan yang lurus dengan Umpu Belunguh. Keputusan itu masih berlaku hingga kini.

Masyarakat Lampung, termasuk Skala Brak, sangat berpegang teguh terhadap norma dan adat, baik yang diwariskan secara lisan maupun melalui tulisan huruf Lampung Kuno. Kehidupan masyarakat biasanya diatur dengan sistem kekerabatan yang bersifat patrilineal di mana pemerintahan diatur berdasarkan adat (mengutamakan kaum laki-laki) dalam hal sistem mata pencaharian, kekerabatan, dan kehidupan sosial-budaya.

Sumber :
• www.pariwisata.lampung.go.id.
• www.id.wikipedia.org.
• http//melayuonline.com

Comments :

0 comments to “ ”


Post a Comment